Bank Tanah Kelola 33.000 Hektar Lahan, 30 Persen untuk Reforma Agraria Aceh

Bank Tanah – Pemerintah lewat Badan Bank Tanah menyebut tengah mengelola lahan seluas 33.000 hektar di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar 30 persen diklaim akan dialokasikan khusus untuk program reforma agraria di Aceh. Sebuah pernyataan yang di atas kertas terdengar mulia, namun di lapangan belum tentu seindah narasinya.

Pertanyaannya kini bukan hanya seberapa besar lahan itu, melainkan seberapa serius komitmen negara dalam mendistribusikan hak tanah secara adil kepada masyarakat Aceh yang selama ini hidup dalam bayang-bayang konflik dan ketimpangan lahan. Reforma agraria sering di jadikan jargon politik yang berakhir di tumpukan arsip tanpa realisasi yang memadai.

33.000 Hektar: Angka yang Menggoda

33.000 hektar bukan angka yang kecil. Jika diibaratkan, itu setara dengan hampir separuh luas kota Jakarta. Tapi ketika kita bicara soal “pengelolaan”, kata tersebut menyimpan makna multitafsir. Apakah lahan itu dikelola demi kepentingan rakyat atau justru menjadi bancakan para investor dan korporasi besar berkedok pembangunan?

Bank Tanah, sebagai lembaga baru di bawah naungan pemerintah pusat, memiliki mandat mengelola tanah terlantar dan tanah negara. Namun praktiknya, masyarakat kerap kali tak dilibatkan dalam proses perencanaan. Di Aceh sendiri, riwayat pengelolaan tanah tak pernah lepas dari konflik kepentingan, klaim adat, dan perampasan ruang hidup.

Reforma Agraria atau Rekayasa Agraria?

Aceh selama ini menjadi provinsi yang kerap dikaitkan dengan ketimpangan penguasaan lahan. Eks kombatan, petani lokal, hingga komunitas adat masih bergelut dengan ketidakpastian hukum atas tanah yang mereka tempati. Ketika Bank Tanah menyatakan akan memberikan 30 persen lahan untuk reforma agraria, publik Aceh patut curiga dan bertanya: reforma slot kamboja untuk siapa?

Janji-janji distribusi tanah kerap tak menyentuh inti persoalan. Alih-alih membebaskan petani dari jerat ketimpangan, banyak program justru tersandera oleh birokrasi berlapis dan praktik mafia tanah. Distribusi lahan bisa saja berakhir menjadi proyek politis jelang pemilu atau alat konsolidasi elite lokal yang berselimut retorika kesejahteraan.

Lahan Strategis atau Lahan Sengketa?

Tak sedikit dari lahan yang di kelola Bank Tanah di sebut sebagai “tanah strategis nasional”. Namun kata “strategis” di sini kerap di terjemahkan menjadi lahan bernilai ekonomi tinggi yang justru mengundang rebutan. Lahan-lahan di Aceh, terutama yang berada di kawasan pesisir dan dataran tinggi, menjadi incaran berbagai kepentingan, dari sektor pariwisata, pertambangan, hingga pembangunan kawasan industri.

Di sisi lain, masyarakat adat yang telah ratusan tahun tinggal di sana sering kali tidak punya bukti legal atas tanah mereka. Ini membuat mereka rentan tergusur demi proyek yang di bungkus narasi pembangunan. Lalu bagaimana nasib mereka di tengah gelontoran ribuan hektar lahan yang “di atur” dari pusat?

Kegagapan Data dan Minim Transparansi

Ironisnya, hingga kini data lahan yang di kelola oleh Bank Tanah masih belum dibuka secara rinci ke publik. Tak ada peta distribusi digital yang bisa di akses masyarakat. Ini membuka peluang manipulasi data serta kongkalikong dengan pihak-pihak berkepentingan. Masyarakat Aceh berhak tahu lahan mana yang akan di jadikan target reforma agraria, dan siapa saja penerimanya.

Tanpa transparansi, seluruh narasi reforma agraria ini hanya akan menjadi hiasan dalam laporan tahunan kementerian. Padahal, kepercayaan masyarakat Aceh terhadap negara selama ini di bangun dari rasa keadilan dan pengakuan terhadap hak atas tanah. Jika ini di abaikan, maka bukan hanya kredibilitas Bank Tanah yang di pertaruhkan, tetapi juga stabilitas sosial dan politik di daerah.

Antara Harapan dan Kecurigaan

Program Bank Tanah seharusnya menjadi solusi terhadap kesenjangan agraria yang sudah mengakar. Namun jika pelaksanaannya minim partisipasi, sarat kepentingan elite, dan tak menyentuh akar masalah, maka semua itu hanya akan menjadi tambahan catatan kegagalan reformasi agraria nasional.

Di Aceh, di mana sejarah tanah dan darah saling berkelindan, janji 30 persen dari 33.000 hektar bukan angka yang bisa di terima begitu saja. Rakyat Aceh butuh bukti, bukan sekadar wacana. Sebab tanah di sini bukan sekadar aset, tapi identitas dan harga slot 777.

Exit mobile version